Mahasiswa di Persimpangan Realitas. ( Memotret Pregeseran Dimensi dan Sebuah Harpaan yang mengerikan )
Mahasiswa atau pemuda secara umum dapat di pandang sebagai suatu fase dari siklus pmbentukan kepribadan manusia, ciri yang menonjol dari fase ini adalah masa peralihan peranan manuju suatu suatu kedudukan yang bertanggung jawb dlama tatanan sosok nyentrik, penuh kejutan, mem punya kemurnian idealisme,. keberanian dan keterbukaan dalam menyerap nilai-nilai lain dari gagasan bar, spontanitas, dan biasannya mempunyai daya kreatifitas serta keingnan unutk menampilkan sikap dankepribadian yang mandiri.
perubahan sosial budaya yang bergerak cepat dalam abad ini sebagai kemajuan yang tak terelakkan dan disaay tang sama akan tercipta masalah-masalah baru yang pada gilirannya akan memberikan impikasi terhadap proses perkembangan mahasiswa itu sendiri, karena perubahan itu kadang tidak berjalan linear seperti yang kita gambarkan. akan tetapi justrumelakukan lompatan2 yang kadang kurang bisa dipahami, dalam prespektif ini perlu sebuah strategi untuk mengembangkan konsep berfikir yang dinamis dan lebih terstruktur agar mahasiswa dapat menangkap setiap percepatan gerak perubahan.
peranan mahasiswa sebagai agen of change/ agen of social control selalu di perlukan, dalam catatan sejarah mahasiswa indonesia terlah berbuat banyak serta memberikan sumbangsih kepada Negara dan telah mewarnai sejarah bangsa indonesia fakta menunjukan betapa aksi dan gerakan mahasaswa sangat berpengaruh terhadap pertumbuhdan dn perubahan sistem politik, ekonomi, sosial budaya, dan dimensi kehidpan yanglainnya, semenjak pra kemerdekaan, sejak lahirnya budi utomo yang dipelopori oleh pemuda dan mahasiswa, jaman orde lama, orde baru dan terakhir kita dapat saksikan bagaiman strategisnya kekuatan dan peranan mahasiswa dalam memelopori gerakan reformasi. apa kemudian yang semestinya kita sadari bagi kita yang menyandang gelar mahasiswa? hendaknya kita sebagai mahasiswa benar-benar menyadari tugas berat yang selalu terbawa di pundaknya selain tugas utamanya belajar akan tetapi kemudian ada tugas lain yang juga tidak kalah penting untuk dilakukan, seperti digambarkan diatas, sebagai agen perubah, sosok yang selalu berproses, pandai menangkap, merumuskan, dan kemudian mencarikan jalan keluar terhadap setiap persoalan-persoalan komunal paling tidak terhadap lingkup yang kecil-kecil yakni organisasi atau kerumunan antar teman sebaya dan pula bahwa dia secara individu adalah entitas tunggal yang dibedakan dari yang lain, ia mempunyai sifat yang independent, karena setiap individu pastu mencari nilai yang benar karena secara fitri ia telah diberikan kebebasan sesua watak pencariannya.
realitas kehidupan masyarakat banten pada hari ini telah jauh bergeser, dari masyarakat agraris menjadi masyarakat agraris menjadi masyarakat industri seiring merangkaknya kemajuan jaman dan teknoloi. maka dari sini sadar tidak sadar telah memunculkan dua dimensi kehidupan yang dikotomis, sebagian orang mersaa diuntungkan dengan kondisi ini sebagian lagi merasa dirugikan dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya, isu-isu transsendental muncul kepermukaan akibat mengkristalkan kelas-kelas osial, wacana golongan pribumi dan non pribumi menjadi sentiment hangat, belum lagi ditambah dengan sifat masyarakat yang bergerak pada tahap individualistik, hal ini yang akan membentuk lingkungan dan gaya jauh berfikir `masyarakat yang apatis dan memunculkan kepedulian semu yang dirasionalkan melalui amarah dan anarki akibat dari ketidakpuasan, lalu kemudian bertndakk mengatasnamakan kaum margina yang pada akhirnya melahirkan tindakan yang cenderung desktruktif dan jauh dari term-term logils.
dalam kondisi diatas mengabrukan bahwa manusia sebagai benda yang begitu saja terombang ambing oleh kondisi lingkungan adalaha sisi lain yang biasa kita potret dalam kenyataaan perubahaan, dari sisi ini masyarakat hampir bisa dipastikan tidak mampu mengeksikan dirinya d tengah kelompok komunal, misalnya konsumtif luar biasa badai ekonomi dan ketidak menentuan finansial, seakan mengukuhkan pandangan Deskrates yang mengatakan " aku berpikir, maka aku ada " ini kreatifitas, daya inovasi, dan daya nalar bangsa kita sesungguhnya tengah diuji, khususnya dalam menempatkan diri kita di dalam berbagai tantangan.
persoalan diatas bukanlah persoalan yang tidak mengandung makna, karena apa yang digambarkan realitas tentang berkembangnya ide - ide reformasi adalah sebuah fenomena sosial yang harus dipahami dari semakin ewasana pola pikir masyarakat. hal tersebu sekalius menyakan bahwa mahasiswa atau masyarakat tengah melakukan pencarian makna-makna tertentu yang bisa memuaskan kehidupan mereka.
Viktor Frankl menyatakan :
" pencarian kata akan makna merupakan motvasi penting dalam hidup kita, pencarianinlah yang menjadikan mahluk spiritual dan ketika kebutuhan akan makan ini terpenuhi, kita akan terasa dangakn dan hampa. bagi sebgaian besar kita sat in , kebutuh tersbut tidak terpenuhi dan krisis mendasar di jaman ini adalah krisis spiritual "
pada awal abad ke-20 muncul konsep "IQ" menjadi isu besar dengan sebuah pandangan bahwa semakin tinggi "IQ" seseorang akan semakin tinggi pula kecerdasannya. yang kemudian setelah munculnya EQ (Kecerdasan Emosional) yang dipopulerkan oleh Daniel Goleman, ternyata kita menjadi paham bahwa " IQ " saja tidak cukup untuk menjadi cerdas tetapi harus di tunjang oleh "EQ". selanjutnya pada akhir abad ke-20 ini muncul sebuah "Q" jenis ketiga yang disebut dengan SQ ) (Kecerdasan Spiritual).
Kita berharap pengurus Kamayasa mampu memaknai secara postitf setiap percepatan realitas yang terjadi sehingga pada akhirnya diharapkan melahirkan pula generasi Banten yan memiliki Kecerdasan Intelektual yang mumpuni baik secara Normatif maupun empiris. kemudian kecerdasan emosional namun kecerdasan ini mahasiswa dituntut untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyan seputar dirinya, bagaimaan ia kemudian ia membuat manajemen persaan dan dirinya, bagaimana kemudian ia membaut manajemen perasaan dan pergaulannya, ia pandai mengeksiskan dirinya dtengah kerumunan sekitarnya, luwes dalambergaul, penolong sesama, seta kawan, mampu mengemas persaan sehingga tidak menjadi sosok yang melankolis yang mempunyai kecendrungan manja, kekanak-kanakan dan kurang bertanggung jawab,
Study Fiktif :
" ada dua orang mahasiswa yang bertemu pada saat menjelang Ospek, namanya Reno dan Rifky, Reno berasal dari Tangerang sedangkan Rifky rumahnya dekat dengan Kampus Institut Teknologi Bandung setelah acara perkenalan usai, Rifky menawarkan kepada reno untuk menginap di Rumahnya, diperjalanan sambil naik angkot rifky memperlihatkan koleksi Spot hasil fotografi keislaman yang dimilikinya dan beberapa spot sawah yang sangat menawan rifky membei pernyataan bahwa ia sangat susah payah mendapatkan lalu rifky bertanya bagaiamana koleksi ku? lalu dengan spontan reno menjawab menurut ku koleksi itu bagus-bagus tetapi mengapa kamu mendapatkan itu secara susah payah hingga ke filipinna di Banten banyak sekali daerah persawahan dan keislaman disana. . "
Secara teknis benar dan inilah yang disebut kecerdasan Intelektual, akan tetapi secara batiniah hal itu sungguh salah, dan alat untuk memahami hal itu disebut kecerdasan Emosi atau "SQ" menurut berbagai penelitan kecerdasan Intelektual "SQ" hanya berperan dalam kehidupan manusia dengan besaran maksimum 20 % bahkan hanya 6% menurut Steven J. Stein, Ph.D dan Howard E. Book, M.D. Tepatnya pada tanggal 9 Juli 2001 pada saati itu digelar Forum diskusi mahasiswa yang kebetulan saya menjadi ketua penyelenggarnya, diskusi tersebut bertema " Membangun Lingua Berfikir Mahasiswa " yang menarik menurut pengamatan saya selama diskusi tersebut berlangsung sadalah tentang pemamparan .
teladang tingkat Mahasiswa Universitas Padjajaran Bandung, pemilihan tersebut diikuti oleh salah satunya seorang perempuan yang mempunyai Indeks Prestasi Kumulatif hampir mendekati angka "4" artinya mendekati angka sempurna dan bisa dibayangkan bahwaa nilai rata-rata mata kuliahnya "A" kemudian diikuti juga oleh mahasiswa yang kalau dilihat dari nilai IPK kurang dari "3", ternyata setelah diteliti lebih lanjut bahwa mahasiswi yang nilainya mendekati 4 itu adalah seorang kutu buku rajin membaca dan menghafal pelajaran, dia pandai menjawab soal teori secara tertulis, rutinitasnya hanya datang ke kampus untuk kuliah setelah itu lalu bergegas pulang, sedangkan mahasiswa yang memenangkan pemilihan adalah seorang mahasiswa yang hari harinya disibukan dengan berbagai urusan organisasi, membangun akses, banyak gaul, banyak terlibat dan diskusi berbagai persoalan yang terjadi baik dilingkungan atau ekstra kampusnya. kesimpulan dari cerita ini adalah benar bahwa kita tidak semata-mata memerlukan Kecerdasan Intelektual akan tetapi memiliki kecerdasan lainnya, tentu ini tidak menjustifikasi bahwa kalau tidak berorganisasi menjadi tumpul emosi, atau seorang kutu buku hanya menjadi pandai Teori.
Kecerdasan Spiriritual, merupakan kecerdasan yang bersifat Transendental sang khalik secara utuh/kaffah, dapat melaksanakan ajaran agama secara baik, sehingga output dari kemampuan kecerdasan dimaksud adalah lahirnya pribadi yang soleh dan sholehah artinya bahwa hubungan berimplikasi pada perilaku sehari-hari secara mengesankan pula. Kecerdasan sosial, kesadaran kita sebagai mahluk sosial harus dijadikan dasar utama dalam pergaulan yang paling komplek adalah pergaulan kita di tengah-tengah masyarakat, kita harus sadar bahwa kita tidak berarti apa-apa tanpa adanya masyarakat, tanpa adanya komunitas sosial, karena sejatinya keberadaan individu dalam suatu masyarakat sosial adalah saling membutuhkan saling mengisi dan melengkapi,
dalam kondisi diatas mengabrukan bahwa manusia sebagai benda yang begitu saja terombang ambing oleh kondisi lingkungan adalaha sisi lain yang biasa kita potret dalam kenyataaan perubahaan, dari sisi ini masyarakat hampir bisa dipastikan tidak mampu mengeksikan dirinya d tengah kelompok komunal, misalnya konsumtif luar biasa badai ekonomi dan ketidak menentuan finansial, seakan mengukuhkan pandangan Deskrates yang mengatakan " aku berpikir, maka aku ada " ini kreatifitas, daya inovasi, dan daya nalar bangsa kita sesungguhnya tengah diuji, khususnya dalam menempatkan diri kita di dalam berbagai tantangan.
persoalan diatas bukanlah persoalan yang tidak mengandung makna, karena apa yang digambarkan realitas tentang berkembangnya ide - ide reformasi adalah sebuah fenomena sosial yang harus dipahami dari semakin ewasana pola pikir masyarakat. hal tersebu sekalius menyakan bahwa mahasiswa atau masyarakat tengah melakukan pencarian makna-makna tertentu yang bisa memuaskan kehidupan mereka.
Viktor Frankl menyatakan :
" pencarian kata akan makna merupakan motvasi penting dalam hidup kita, pencarianinlah yang menjadikan mahluk spiritual dan ketika kebutuhan akan makan ini terpenuhi, kita akan terasa dangakn dan hampa. bagi sebgaian besar kita sat in , kebutuh tersbut tidak terpenuhi dan krisis mendasar di jaman ini adalah krisis spiritual "
pada awal abad ke-20 muncul konsep "IQ" menjadi isu besar dengan sebuah pandangan bahwa semakin tinggi "IQ" seseorang akan semakin tinggi pula kecerdasannya. yang kemudian setelah munculnya EQ (Kecerdasan Emosional) yang dipopulerkan oleh Daniel Goleman, ternyata kita menjadi paham bahwa " IQ " saja tidak cukup untuk menjadi cerdas tetapi harus di tunjang oleh "EQ". selanjutnya pada akhir abad ke-20 ini muncul sebuah "Q" jenis ketiga yang disebut dengan SQ ) (Kecerdasan Spiritual).
Kita berharap pengurus Kamayasa mampu memaknai secara postitf setiap percepatan realitas yang terjadi sehingga pada akhirnya diharapkan melahirkan pula generasi Banten yan memiliki Kecerdasan Intelektual yang mumpuni baik secara Normatif maupun empiris. kemudian kecerdasan emosional namun kecerdasan ini mahasiswa dituntut untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyan seputar dirinya, bagaimaan ia kemudian ia membuat manajemen persaan dan dirinya, bagaimana kemudian ia membaut manajemen perasaan dan pergaulannya, ia pandai mengeksiskan dirinya dtengah kerumunan sekitarnya, luwes dalambergaul, penolong sesama, seta kawan, mampu mengemas persaan sehingga tidak menjadi sosok yang melankolis yang mempunyai kecendrungan manja, kekanak-kanakan dan kurang bertanggung jawab,
Study Fiktif :
" ada dua orang mahasiswa yang bertemu pada saat menjelang Ospek, namanya Reno dan Rifky, Reno berasal dari Tangerang sedangkan Rifky rumahnya dekat dengan Kampus Institut Teknologi Bandung setelah acara perkenalan usai, Rifky menawarkan kepada reno untuk menginap di Rumahnya, diperjalanan sambil naik angkot rifky memperlihatkan koleksi Spot hasil fotografi keislaman yang dimilikinya dan beberapa spot sawah yang sangat menawan rifky membei pernyataan bahwa ia sangat susah payah mendapatkan lalu rifky bertanya bagaiamana koleksi ku? lalu dengan spontan reno menjawab menurut ku koleksi itu bagus-bagus tetapi mengapa kamu mendapatkan itu secara susah payah hingga ke filipinna di Banten banyak sekali daerah persawahan dan keislaman disana. . "
Secara teknis benar dan inilah yang disebut kecerdasan Intelektual, akan tetapi secara batiniah hal itu sungguh salah, dan alat untuk memahami hal itu disebut kecerdasan Emosi atau "SQ" menurut berbagai penelitan kecerdasan Intelektual "SQ" hanya berperan dalam kehidupan manusia dengan besaran maksimum 20 % bahkan hanya 6% menurut Steven J. Stein, Ph.D dan Howard E. Book, M.D. Tepatnya pada tanggal 9 Juli 2001 pada saati itu digelar Forum diskusi mahasiswa yang kebetulan saya menjadi ketua penyelenggarnya, diskusi tersebut bertema " Membangun Lingua Berfikir Mahasiswa " yang menarik menurut pengamatan saya selama diskusi tersebut berlangsung sadalah tentang pemamparan .
teladang tingkat Mahasiswa Universitas Padjajaran Bandung, pemilihan tersebut diikuti oleh salah satunya seorang perempuan yang mempunyai Indeks Prestasi Kumulatif hampir mendekati angka "4" artinya mendekati angka sempurna dan bisa dibayangkan bahwaa nilai rata-rata mata kuliahnya "A" kemudian diikuti juga oleh mahasiswa yang kalau dilihat dari nilai IPK kurang dari "3", ternyata setelah diteliti lebih lanjut bahwa mahasiswi yang nilainya mendekati 4 itu adalah seorang kutu buku rajin membaca dan menghafal pelajaran, dia pandai menjawab soal teori secara tertulis, rutinitasnya hanya datang ke kampus untuk kuliah setelah itu lalu bergegas pulang, sedangkan mahasiswa yang memenangkan pemilihan adalah seorang mahasiswa yang hari harinya disibukan dengan berbagai urusan organisasi, membangun akses, banyak gaul, banyak terlibat dan diskusi berbagai persoalan yang terjadi baik dilingkungan atau ekstra kampusnya. kesimpulan dari cerita ini adalah benar bahwa kita tidak semata-mata memerlukan Kecerdasan Intelektual akan tetapi memiliki kecerdasan lainnya, tentu ini tidak menjustifikasi bahwa kalau tidak berorganisasi menjadi tumpul emosi, atau seorang kutu buku hanya menjadi pandai Teori.
Kecerdasan Spiriritual, merupakan kecerdasan yang bersifat Transendental sang khalik secara utuh/kaffah, dapat melaksanakan ajaran agama secara baik, sehingga output dari kemampuan kecerdasan dimaksud adalah lahirnya pribadi yang soleh dan sholehah artinya bahwa hubungan berimplikasi pada perilaku sehari-hari secara mengesankan pula. Kecerdasan sosial, kesadaran kita sebagai mahluk sosial harus dijadikan dasar utama dalam pergaulan yang paling komplek adalah pergaulan kita di tengah-tengah masyarakat, kita harus sadar bahwa kita tidak berarti apa-apa tanpa adanya masyarakat, tanpa adanya komunitas sosial, karena sejatinya keberadaan individu dalam suatu masyarakat sosial adalah saling membutuhkan saling mengisi dan melengkapi,
Komentar