Kutipan Menarik dari GEA CITTA
Plan A/B
Tidak punya rencana jangka panjang adalah akibat tidak langsung dari orang tua yang memanusiakan anaknya. Demikian saya mengkambinghitamkan bapak dan ibuk atas tanggung jawab saya sebagai calon orang dewasa. Sedari kecil keduanya selalu memberi ruang untuk saya mengambil pilihan. Yang baru saya sadari, kini pilihan-pilihan yang perlu saya pertimbangkan tidak sehitam-putih waktu dulu saya di usia belasan. Ini yang memusingkan.
Saya mendapat pengaruh besar dari apa yang sehari-hari dikerjakan Bapak–meskipun dia tidak pernah sekali pun mengarahkan saya untuk mengikuti jejaknya. Bayangan saya dua sampai lima tahun mendatang tidak pernah jauh dari aktivitas seorang akademisi. Seorang peneliti. Seorang pengajar. Seorang pembicara di beberapa seminar. Suatu proyeksi yang resolusinya paling jelas. Paling cerah, tentu bukan dari segi keuangan. hahaha. Paling bikin saya deg-deg-an sekaligus berharap diam-diam semoga kelak jadi kenyataan.
Proyeksi tersebut bukan tanpa penghalang. Adalah rasa percaya diri yang menghalangi. Saya tidak tahu apakah tahun depan saya mampu menulis skripsi yang mendapat predikat “layak diberi kesempatan menjadi dosen muda.”. Saya tidak yakin apakah saya dapat menembus program master di kampus yang saya tuju dan mencetak tesis yang bermutu. Saya bahkan tidak sepenuhnya berani memprediksi apakah saya kelak sanggup menyusun disertasi yang kualitasnya betul-betul merepresentasikan seorang Ph.D..
Orang-orang optimis mengatakan, your dream is not big enough if it does not scare you.Orang berdarah skeptis macam saya akan balas, but, big is relative, isn’t it? Tanpa mengecilkan cita-cita orang lain, proyeksi saya bisa jadi lebih besar dari keinginan teman saya yang ingin segera menyandang gelar sarjana dan mengakhiri jenjang pendidikannya di tingkat s1. Akan tetapi, dibandingkan dengan seseorang yang bercita-cita mengubah dunia–entah dengan apapun caranya–mimpi saya bahkan tidak masuk kategori mimpi. hahaha.
Sejak mengenal lebih banyak jenis orang, saya belajar bahwa masing-masing dari mereka punya mimpi yang sifatnya personal. Karena personal, saya kini berhenti membandingkan aspirasi setiap orang dan tidak lagi berminat mengkomparasikannya dengan milik saya sendiri. Setiap individu punya perkembangan dan pencapaian yang berbeda-beda. Dan saya berupaya menghargai keragaman itu.
Selain penghalang internal, tentu ada ‘hambatan’ dari luar. Saya ragu pekerjaan ‘impian’ saya lebih dari sekadar memberi materi ajar, menjadi rekan diskusi di kelas, dan meluluskan serta tidak meluluskan mahasiswanya. (Di era yang segalanya sebisa mungkin bersifat inspiratif, siapa sih yang tidak ingin pekerjaannya dilabeli “memberi manfaat langsung bagi masyarakat”?) Namun, ada tiga hal yang lebih memberatkan:
1. saya hidup di negara yang dikelola oleh para penyelenggara yang belum berpegang pada prinsip intelektualisme sehingga menyelesaikan masalah publik dengan analisis mendalam adalah keengganan. (Ini tercermin dari jargon pemerintah kita; kerja, kerja, kerja. Bukan riset, pikir, kerja.)
2. saya hidup di dalam institusi pendidikan dengan pola pikir yang menyamakan kritisisme dengan sikap negatif–sikap yang sebaiknya dimatikan karena ia membuat kita tidak punya banyak kawan. Kita diyakinkan untuk lebih memilih rasa aman di dalam kerumunan daripada melawan meski sendirian. (Perhatikan konten yang diedarkan di kebanyakan acara yang mendorong kita agar “ber-positive thinking” dan mencari “sisi baik” dari segala persoalan.)
3. saya hidup di masyarakat yang menginduk pada komunitas. Artinya, kuantitas kelompok mendahului kualitas individu. (Kecerdasan seseorang yang datang dari keturunan kyai kondang dari organisasi tertentu lebih dianggap dari seseorang yang kecerdasannya sama tinggi namun ia, misalkan, lahir dari pasangan Ahmadi.)
Meskipun dibayangi oleh tiga hal di atas, saya tetap berupaya menyemangati diri sendiri. hahaha. Pada akhirnya, setiap pekerjaan memiliki hambatannya sendiri-sendiri. Saya tinggal pilih mana hambatan yang saya mau hadapi dengan riang hati. Lagipula, ketidakteraturan semesta kerap memiliki daya kejut yang menyenangkan. Saya masih percaya, hidup yang acak punya kompas yang lebih bisa diandalkan daripada peta rancangan saya sendiri. (Tapi saya masih berharap kecil kompas tersebut nantinya membawa saya ke dunia yang dekat dengan buku, jurnal, dan kertas kerja. Aminkan, ya!)
Komentar